Home » , » Sampai Batas Maksimal

Sampai Batas Maksimal

Nabi Ibrahim AS tidak bisa melogikakan alasan beliau meninggalkan Hajar bersama putranya Ismail yang dicintainya di sebuah lembah tandus yang tidak berpenduduk dan tidak ditumbuhi tanam-tanaman. Beliau meninggalkan mereka berdua dengan sekantung bekal yang hanya cukup untuk hari itu saja. Tapi ketika Hajar berhasil mendapatkan kesimpulan bahwa semua itu adalah perintah Tuhannya, maka ia hanya bisa berkata dengan penuh kepasrahan, “Kalau begitu, pastilah Allah tak akan menyia-nyiakan kami di sini.”

Keikhlasan karena Allah dan ketulusan yang menyertainya, bukan keterpaksaan, itulah yang menjadi landasan utamanya. Jika suatu pekerjaan atau tugas diawali dengan keikhlasan, maka hal itu sudah merupakan kesuksesan, sukses sejak memulai pekerjaan. Tapi yang jadi masalah, keikhlasan itu tak bisa didapatkan secara mudah. Harus ada proses pemahaman yang utuh dan mendalam terlebih dulu. Mustahil seorang Hajar menerima begitu saja ditinggalkan suaminya di tempat seperti itu jika ia tidak memahami hakikat perintah itu.

Dengan yakin ia katakan, “Kalau begitu, pastilah Allah tak akan menyia-nyiakan kami di sini.” Artinya ia mengenal Allah, ia memahami betul bagaimana kebesaran dan kekuasaan-Nya, serta kasih sayang-Nya yang tak terhingga kepada hamba-Nya yang senantiasa berbuat kebaikan di muka bumi ini. Dengan modal keikhlasan itulah ia mampu menghadapi rintangan terberat yang sudah membentang di depan matanya: suasana gurun pasir yang mencekam.

Anda sedang menyaksikan sebuah adegan yang sangat dramatis. Terbayang di benak Anda sebuah gurun pasir yang kosong, tak ada penghuninya, tak ada pepohonan, dan tak ada oase terdekat yang bisa menjadi tempat berteduh sekaligus pelepas dahaga. Sekarang ini Anda melihat seorang ibu sedang menggendong bayinya, dengan sekantung makanan yang hanya cukup untuk satu hari, dan ia terus menatap suaminya yang telah jauh melangkah. Terus saja ia tatap suaminya itu hingga terlihat seperti sebuah titik hitam dan akhirnya hilang juga dari pandangannya. Ia tak ingin menyusul saat suaminya belum terlalu jauh melangkah, padahal ia pasti mampu untuk melakukannya. Mungkin hanya air mata yang menetes, serta peluh yang terus mengalir seiring tubuh yang melemah dan tenggorokan yang mengering. Tapi ia hanya ingat akan satu hal, bahwa semua ini adalah perintah Tuhannya.

Saat perbekalan mulai menipis, rasa haus mendorongnya untuk mulai mencari-cari air yang mungkin saja ada di sekitar situ. Tapi apakah yang mendorongnya itu hanyalah insting kemanusiaannya, ataukah ada dorongan yang lebih kuat sehingga ia harus menyusuri berulang kali rute antara Bukit Shafa dan Marwah? Jika dorongan yang kuat itu ada, dan memang ada, maka itu adalah naluri keibuan. Yakni saat ia mendengar bayinya menangis karena kehausan, mulailah spontan ia tinggalkan bayinya itu untuk mencari air – yang jika kita berada di sana, maka boleh jadi kita akan berkata, “Tak mungkin ada air di tempat seperti ini!”.

Fatamorgana yang dilihatnya sebagai air di kejauhan sana mungkin cukup menambah semangat. Sesampainya di tempat itu, ternyata airnya tidak ada, hilang begitu saja. Atau ia berharap ada musafir yang melintasi jalur itu sehingga ia bisa meminta pertolongan mereka. Kemudian pandangannya beralih ke arah bukit satunya. Ia pun berlari ke sana dengan harapan yang sama, namun sama juga hasilnya. Begitulah ia melintasi antara Bukit Shafa dan Marwah hingga tujuh kali dengan hasil yang selalu sama. Tak ada air, hanya ada kelelahan.

Putus asa? Bukan putus asa, tapi lebih tepat disebut “menjelang putus asa”. Dan yang ada hanyalah harapan yang ditunjukkan sebagai kepasrahan total. Usaha keras hingga batas maksimal dengan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, sudah dilakukannya. Batas maksimal itu dirasakannya dengan kelelahan yang amat sangat ketika ia kembali ke tempat bayinya terbaring, memandangnya dengan penuh rasa iba yang mengalirkan air mata, seakan ia ingin berkata kepada bayinya, “Nak, ibu sudah cari ke mana-mana, tapi tidak ada air. Dan sekarang ibu sudah tidak kuat lagi berjalan, tidak tahu harus berbuat apa lagi.”

Ya, itulah batas maksimalnya. Berusaha untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan, apa yang dicita-citakan, sampai berulang-ulang meskipun tidak juga berhasil. Dan batas maksimal itu adalah ketika kita bangkit dan terus bangkit setelah kegagalan, hingga kita merasakan lelah yang amat sangat. Tenaga sudah terkuras dan kita pun berkata, “Saya tidak tahu apa lagi yang harus saya perbuat!”. Itulah sempurnanya kemanusiaan kita, yakni pada proses kelelahan saat melakukan usaha berulang-ulang. Sekali kita menetapkan pilihan, menentukan cita-cita besar dan mulia, maka kita terus berusaha meraihnya tanpa pernah bosan dengan perulangan.

Jika batas maksimal itu sudah kita capai, dan kita pun sampai pada puncak kelelahan, maka pada saat itulah pertolongan Allah datang kepada kita dari arah yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Itulah saat Hajar tujuh kali sudah melintasi Shafa dan Marwah lalu kembali ke tempat semula tanpa membawa hasil, kecuali kelelahan. Dan itulah saat malaikat Jibril AS datang dan menghentakkan tanah dengan kaki Nabi Ismail AS, lalu keluarlah air dari lapisan di bawah kaki kecil itu. Allah memberikan pertolongan kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, bukan menurut apa yang diinginkan oleh hamba-Nya itu.

Jadi ketika Anda melakukan satu usaha atau pekerjaan dan Anda pun yakin bahwa apa yang Anda lakukan itu akan membuahkan hasil, maka kejarlah hasil itu dengan penuh ambisi dan harapan. Tapi jika ternyata hasilnya tidak sesuai dengan apa yang Anda harapkan, maka itu artinya Allah belum mengaruniakan Anda dengan kesuksesan. Anda jangan berputus asa, tapi lihatlah kemungkinan lain. Ulangi kembali pekerjaan atau usaha Anda itu dengan sedikit perbaikan. Kemudian Anda pun akan melihat dengan keyakinan yang baru bahwa usaha Anda kali ini akan sukses. Tapi jika ternyata belum juga berhasil, maka ulangilah kembali usaha itu hingga Anda tak tahu apa lagi yang harus dilakukan.
Ada catatan penting yang perlu Anda pahami di sini. Anda tak akan mampu berjuang mencapai batas maksimal kemampuan Anda dalam satu jenis usaha atau pekerjaan jika Anda tidak mengawalinya dengan keyakinan. Keyakinan yang dimaksud di sini adalah keyakinan yang lahir dari cita-cita yang luhur. Maaf, jika Anda melakukan suatu usaha atau pekerjaan untuk sekedar mendapatkan uang atau ingin cepat kaya, maka akan sulit bagi Anda mencintai usaha atau pekerjaan itu, apalagi manakala Anda mengalami kegagalan berulang-ulang. Anda akan mudah berputus asa selama cita-cita Anda sekedar memenuhi kebutuhan materi.

Saya sering menemukan orang-orang semacam ini. Pada awalnya mereka begitu tinggi semangatnya dalam berbisnis, mereka menjalankan usaha yang mandiri. Mereka yakin bahwa prospek bisnisnya itu cukup menjanjikan. Sekali saja mereka mengalami kegagalan, mereka masih bisa bangkit kembali. Tapi setelah kegagalan itu berulang-ulang, mereka mulai bosan. Keyakinan mereka mulai surut. Dan akhirnya sebagian di antara mereka mulai berpikir untuk meninggalkan bisnisnya dan beralih ke bisnis yang lain. Dalam proses pencarian jati diri, hal ini mungkin saja terjadi. Dan boleh jadi, bisnis baru yang dilakukannya itulah yang menjadi sebab kesuksesannya. Tapi yang sangat disayangkan adalah jika kebosanan mengulang-ulang usaha itu berubah menjadi sikap menyerah. “Ah, sepertinya saya memang tidak bakat di jalur ini. Lebih baik saya banting stir jadi PNS atau karyawan biasa saja. Yang penting saya punya penghasilan bulanan yang cukup, nggak jadi orang kaya juga nggak masalah.”

Saya tidak mengatakan bahwa menjadi PNS atau pegawai biasa, atau menjadi orang yang biasa-biasa saja adalah suatu kemunduran. Tapi yang menjadi kemunduran adalah ketika seseorang memiliki cita-cita yang besar, tapi dia mengubur cita-cita itu lantaran satu atau dua kali kegagalan yang dialaminya. Dia kurang sabar sehingga dia berpikir, “Ya sudahlah, saya jadi orang biasa-biasa saja.” Padahal dia belum lagi memaksimalkan semua potensinya.

Pada intinya, setiap orang memiliki batas maksimal yang berbeda-beda. Setiap orang juga ditakdirkan untuk sukses dengan cara yang berbeda, dengan pengalaman kegagalan yang berlainan juga frekuensinya. Ada yang sekali mencoba usaha dan dia langsung mendapatkan apa yang diinginkan. Ada yang harus mencobanya dua atau tiga kali baru berhasil. Ada juga yang harus mencoba berkali-kali, puluhan, ratusan bahkan ribuan kali, barulah dia berhasil dan suksesnya bukanlah sukses yang tanggung. Semua itu sudah tercatat dalam takdir-Nya. Persoalannya, tidak ada orang yang tahu berapa kali dia akan mengalami kegagalan sebelum dia mencapai kesuksesan. Maka yang terpenting adalah kita lakukan saja apa yang kita yakini akan membawa kita pada keberhasilan. Sekali lagi, kata kuncinya adalah keyakinan, yang dari keyakinan itu lahirlah keikhlasan dan ketulusan dalam menjalani usaha kita. Kemudian dari keikhlasan dan ketulusan itu lahirlah kegigihan dan pantang menyerah terhadap kegagalan.

Kita tidak mengatakan bahwa keluarga Nabi Ibrahim AS itu excellence karena mereka berkuasa penuh atas sumur Zamzam serta menjadi pelayan di Rumah Allah. Mereka menjadi excellence karena pengorbanan yang mereka lakukan, yang dimanifestasikan dalam kesabaran dan kegigihan menghadapi problematika kehidupan. Kelebihan yang mereka miliki adalah semata-mata karunia Allah, sebagai balasan kebaikan yang disegerakan di dunia, dan supaya kita belajar dari semangat hidup yang menjadikan mereka pribadi-pribadi excellence. Tentu apa yang mereka dapatkan di sisi Tuhannya jauh lebih besar daripada yang tampak di dunia. Semoga kita selalu belajar dan mengikuti jejak hidup mereka sehingga kita menjadi teman-teman mereka, bukan hanya di dunia ini melainkan menjadi teman mereka di surga.

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisaa: 69)
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Blognya Aria
Copyright © 2011. PKPU PURWOKERTO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger