Kebersamaan itu layaknya sebuah bangunan. Mungkin sebuah tembok. Ada seseorang yang merancang keutuhannya untuk pertama kali. Ia bangun pondasinya. Ia ajak siapa saja untuk sama-sama membangunnya di tepian kota. Sebagian orang melihat mereka dengan keheranan dan sebagian lagi mencemooh, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang aneh itu?”. Tapi para pembangun itu, dengan kepercayaan penuh pada arsitek yang memimpin mereka, terus saja bekerja membangun pondasi yang kokoh, sambil sesekali mengajak orang yang berlalu.
Setelah pondasinya selesai, sambil terus diperluas dan diperkuat, datang bantuan. Ada yang menyumbang batu bata, pasir dan semen. Batu bata berkualitas disusun sedemikian rupa, direkatkan dengan adukan pasir dan semen, lalu dilapisi lagi. Jadilah tembok itu terlihat utuh sebagai benteng yang melindungi penduduk kota dari ancaman musuh di seberang sana. Para penduduk kota mulai menyadari manfaat tembok itu. Mereka pun bergabung dalam barisan pembangun tembok itu, yang kini menjadi benteng kebersamaan. Mereka menyumbang cat dengan kualitas terbaik sehingga tembok itu tidak hanya terlihat kokoh, tapi juga indah.
Di saat yang sama, angin kebencian menghembus dari sebagian penduduk yang lain. Mereka merasa tembok itu mengganggu, merusak pemandangan dan membuat tidak nyaman. Mereka coba menghancurkan tembok itu sedikit demi sedikit. Tak mampu menghancurkan, mereka buat coretan-coretan, merusak lapisan tembok itu dengan goresan, atau melemparinya dengan kotoran. Tapi tembok itu tidak mudah dihancurkan. Pondasinya kokoh, dan batu bata yang menyusunnya tidak hanya kuat tapi juga menguatkan. Semen pelapisnya berkualitas nomor satu, kuat betul daya rekatnya. Mungkin lapisan catnya bisa dirusak atau dikotori. Tapi itu tak jadi soal, bisa dibersihkan dan dilapisi dengan yang baru.
Dalam kebersamaan kita, ada yang berperan sebagai pembangun dan peletak asas-asas kebersamaan. Ada yang merupakan batu bata penyusun utama, para pemimpin dan pelaksana. Ada yang berfungsi sebagai semen dan pasir perekat, serta semen yang melapisi. Itulah orang-orang yang menisbatkan diri mereka dalam bangunan kebersamaan. Mereka paham betul apa visi para pembangun dan pemimpin mereka. Dan mereka pun merekatkan dirinya dengan kuat dalam bangunan itu serta menguatkannya. Kemudian ada yang ingin memperindah tembok itu dengan cat yang berkualitas, serta menghiasnya sehingga tampak estetik membuat orang yang melihatnya jatuh hati. Mereka adalah para pendukung dan simpatisan yang setia.
Tembok kita ini mungkin mirip tembok yang dibangun Dzulqarnain untuk melindungi suatu penduduk dari serangan bangsa perusak (Ya’juj dan Ma’juj). Bedanya, kita tak pernah diminta oleh masyarakat agar kita membangunkan tembok untuk mereka. Sejak awal, arsitek dan para pembangun tembok ini menyadari betul akan adanya ancaman perusakan itu. Mereka telah menjalankan fungsinya dengan baik. Dan tembok ini bukanlah tembok yang mati. Yang berfungsi sebagai batu bata tidak selamanya menjadi batu bata. Yang berfungsi sebagai semen tak selamanya jadi semen. Ada pergantian, ada pergiliran yang idealnya semakin meningkat.
Adalah suatu kemunduran jika batu bata yang baru tidak sekokoh dan serapi batu bata yang lama dalam kualitas kekuatan dan susunannya. Juga menjadi kekhawatiran jika semen yang baru tidak sekuat semen yang lama dalam kualitas daya rekatnya. Dan cat yang baru tak sebaik cat lama dalam hal daya tahannya terhadap kelunturan. Jika batu bata yang merupakan penyusun utama mulai rapuh dan goyah, maka semen yang melapisinya akan terlihat retak-retak dan bisa jadi ambrol (terlepas). Kerusakan ini bisa diperbaiki. Tapi siapa yang berminat menyumbang semen dan cat berkualitas untuk melapisi tembok yang sudah rapuh?
Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa tembok kita bukanlah tembok yang mati, selama hati kita belum mati. Dan kita belumlah rapuh, jangan sampai rapuh! Ketika serangan virus perusak peradaban telah mewabah di sekeliling kita, maka menjadi pentinglah menjaga keutuhan tembok kebersamaan ini, bersama kita menjaga dan memperkokoh bangunannya. Saya belum menemukan solusi penjaga kebersamaan ini selain meningkatkan interaksi kita dengan Al-Qur’an, sebagaimana arsitek dan para pembangun pertama telah memulainya.
Priyo Sudiyatmoko
Setelah pondasinya selesai, sambil terus diperluas dan diperkuat, datang bantuan. Ada yang menyumbang batu bata, pasir dan semen. Batu bata berkualitas disusun sedemikian rupa, direkatkan dengan adukan pasir dan semen, lalu dilapisi lagi. Jadilah tembok itu terlihat utuh sebagai benteng yang melindungi penduduk kota dari ancaman musuh di seberang sana. Para penduduk kota mulai menyadari manfaat tembok itu. Mereka pun bergabung dalam barisan pembangun tembok itu, yang kini menjadi benteng kebersamaan. Mereka menyumbang cat dengan kualitas terbaik sehingga tembok itu tidak hanya terlihat kokoh, tapi juga indah.
Di saat yang sama, angin kebencian menghembus dari sebagian penduduk yang lain. Mereka merasa tembok itu mengganggu, merusak pemandangan dan membuat tidak nyaman. Mereka coba menghancurkan tembok itu sedikit demi sedikit. Tak mampu menghancurkan, mereka buat coretan-coretan, merusak lapisan tembok itu dengan goresan, atau melemparinya dengan kotoran. Tapi tembok itu tidak mudah dihancurkan. Pondasinya kokoh, dan batu bata yang menyusunnya tidak hanya kuat tapi juga menguatkan. Semen pelapisnya berkualitas nomor satu, kuat betul daya rekatnya. Mungkin lapisan catnya bisa dirusak atau dikotori. Tapi itu tak jadi soal, bisa dibersihkan dan dilapisi dengan yang baru.
Dalam kebersamaan kita, ada yang berperan sebagai pembangun dan peletak asas-asas kebersamaan. Ada yang merupakan batu bata penyusun utama, para pemimpin dan pelaksana. Ada yang berfungsi sebagai semen dan pasir perekat, serta semen yang melapisi. Itulah orang-orang yang menisbatkan diri mereka dalam bangunan kebersamaan. Mereka paham betul apa visi para pembangun dan pemimpin mereka. Dan mereka pun merekatkan dirinya dengan kuat dalam bangunan itu serta menguatkannya. Kemudian ada yang ingin memperindah tembok itu dengan cat yang berkualitas, serta menghiasnya sehingga tampak estetik membuat orang yang melihatnya jatuh hati. Mereka adalah para pendukung dan simpatisan yang setia.
Tembok kita ini mungkin mirip tembok yang dibangun Dzulqarnain untuk melindungi suatu penduduk dari serangan bangsa perusak (Ya’juj dan Ma’juj). Bedanya, kita tak pernah diminta oleh masyarakat agar kita membangunkan tembok untuk mereka. Sejak awal, arsitek dan para pembangun tembok ini menyadari betul akan adanya ancaman perusakan itu. Mereka telah menjalankan fungsinya dengan baik. Dan tembok ini bukanlah tembok yang mati. Yang berfungsi sebagai batu bata tidak selamanya menjadi batu bata. Yang berfungsi sebagai semen tak selamanya jadi semen. Ada pergantian, ada pergiliran yang idealnya semakin meningkat.
Adalah suatu kemunduran jika batu bata yang baru tidak sekokoh dan serapi batu bata yang lama dalam kualitas kekuatan dan susunannya. Juga menjadi kekhawatiran jika semen yang baru tidak sekuat semen yang lama dalam kualitas daya rekatnya. Dan cat yang baru tak sebaik cat lama dalam hal daya tahannya terhadap kelunturan. Jika batu bata yang merupakan penyusun utama mulai rapuh dan goyah, maka semen yang melapisinya akan terlihat retak-retak dan bisa jadi ambrol (terlepas). Kerusakan ini bisa diperbaiki. Tapi siapa yang berminat menyumbang semen dan cat berkualitas untuk melapisi tembok yang sudah rapuh?
Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa tembok kita bukanlah tembok yang mati, selama hati kita belum mati. Dan kita belumlah rapuh, jangan sampai rapuh! Ketika serangan virus perusak peradaban telah mewabah di sekeliling kita, maka menjadi pentinglah menjaga keutuhan tembok kebersamaan ini, bersama kita menjaga dan memperkokoh bangunannya. Saya belum menemukan solusi penjaga kebersamaan ini selain meningkatkan interaksi kita dengan Al-Qur’an, sebagaimana arsitek dan para pembangun pertama telah memulainya.
Priyo Sudiyatmoko
0 comments:
Post a Comment