Menyampaikan bantuan di wilayah konflik sangatlah berbeda dengan memberikan bantuan di wilayah bencana alam. Di wilayah konflik, pegiat kemanusiaan harus cermat dan tepat dalam memberikan bantuan. Di mulai dari upaya mencari akses agar dapat masuk ke wilayah pusat konflik yg biasanya tertutup untuk orang asing. Terlebih lagi apabila konflik terjadi di luar negara kita yang memiliki perbedaan bahasa, budaya, perilaku dan tradisi/ agama yang pastinya akan menambah tingkat kesulitan untuk mengelolanya.
Permasalahan tidak selesai ketika kita sudah mendapatkan akses masuk, tetapi menentukan pihak- pihak yg dianggap "netral" dan berani membantu memfasilitasi pendistribusian bantuan bukanlah perkara mudah. Bila salah langkah dan strategi bisa menjadi bumerang bagi diri maupun warga yg terdampak konflik. Konflik bisa kembali memanas dan keselamatan pegiat kemanusiaan pun menjadi taruhannya.
Untuk masuk ke wilayah hotspot konflik Rohingya pertama tahun 2012 di Sittwe, Rakhine State, penulis harus menunggu 4 hari di Kota Yangon. Sementara visa hanya berlaku untuk 7 hari. Berbekal informasi terbatas bersama pegiat kemanusiaan Malaysia, Wan Yusof & Wan Zukri, penulis mencari para pihak yg dapat memfasilitasi perjalanan ke pusat konflik. Sempat putus asa, namun kekuatan terakhir ada pada doa yang senantiasa dilantunkan agar diberikan "rizki" untuk bisa masuk ke Sittwe. Ketika ada pihak yang menyanggupi, ternyata tidak semua travel agent mau menjual tiketnya. Alhamdulillah, ada relasi kenalan kami yang memiliki travel agent sehingga mau membantu menjual tiketnya. Dan itu pun 3 seat terakhir di penerbangan hari berikutnya.
Ketika tiba di Sittwe, dengan dibantu seorang pemberani bernama Chit Koko O kami mengellilingi Kota Pusat kerusuhan tersebut. Situasi belum terlalu kondusif, padahal sy datang 3 bulan paska puncak kerusuhan. Setelah mendapatkan pihak yang dapat dipercaya untuk menyalurkan bantuan ke kedua komunitas yang berkonflik. Penulis tinggal selama 3 hari di Sittwe untuk bisa masuk ke pengungsian, masuk ke Kampung Aung Mingalar (satu-satunya kampung Rohingya yang selamat dari pembakaran dan kini terisolasi oleh militer & radikal buddhist) dan sisa2 pembakaran perkampungan Rohingya serta bertemu dengan pemerintah lokal Rakhine. Meskipun dilalui dg tingkat ketegangan yg tinggi, alhamdulillah misi berjalan dengan baik meskipun penulis harus overstay selama 1 hari di Myanmar dan bersiap untuk diinterogasi oleh petugas imigrasi Myanmar di Bandara Yangon.
Pengalaman ini memberikan pesan kepada penulis bahwa seorang pegiat kemanusiaan yang hendak membantu masyarakay yang terdampak di wilayah konflik tidaklah cukup mengandalkan semangat saja, diperlukan kesabaran, kemampuan mengelola tekanan, membangun komunikasi di situasi yang serba tidak menentu, tidak gegabah dalam bertindak, menghormati kearifan lokal setempat, bersikap netral dan pastinya kekuatan ruh atau mental yang mampu membuatnya bertahan dari segala kesulitan.
Tomy, pegiat kemanusiaan PKPU, 23 Nov 2016
0 comments:
Post a Comment