Shahih dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW berjalan melewati pasar sedangkan orang-orang ramai di sekelilingnya, sebagaimana lazimnya sebuah pasar. Beliau berhenti melangkah saat melewati bangkai seekor kambing yang kecil daun telinganya. Lalu beliau pun memegang dan mengambil bangkai itu – bangkai tidak najis dipegang selama belum menjadi basah. Beliau angkat bangkai itu dan memegang bagian telinganya, kemudian berseru kepada semua orang, “Siapakah di antara kalian yang mau membeli ini seharga satu dirham?”. Mereka pun menjawab, “Sama sekali kami tidak tertarik, apa yang bisa kami lakukan dengannya?”.
“Kalau begitu, sukakah kalian jika ini jadi milik kalian saja?” lanjut Rasulullah – mungkin maksudnya gratis. “Demi Allah, kalaupun hidup, ia cacat, kupingnya kecil. Maka bagaimana mungkin kami menginginkannya sedangkan ia sudah menjadi bangkai?” tandas mereka. Maka Rasulullah pun memungkasi dialog singkat itu dengan pernyataan tajam, “Maka demi Allah, sungguh dunia lebih hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.”
Hari ini kita membutuhkan sosok-sosok da’i yang berani terjun ke kancah kehidupan di semua sektornya. Membaur dengan masyarakat yang tengah diliputi kelalaian, memberi pelajaran kepada mereka dengan apa pun yang ada di tengah-tengah mereka, dan pada saat yang sama memperingatkan mereka bahwa dunia ini bukan tempat tinggal yang sesungguhnya. Kancah kehidupan itu mungkin pasar, pusat-pusat perbelanjaan, pabrik-pabrik, kampus dan sekolah, perkantoran, ruang rapat direksi, pemerintahan, gedung parlemen, jalan raya, alun-alun kota, hingga jalan-jalan perumahan dan perkampungan.
Memang sulit menemukan sosok yang mampu dengan lincah bergerak ke semua kancah itu. Namun setidaknya kita, dengan keterbatasannya masing-masing, menjadi pengingat bagi diri sendiri, terus memperbaiki diri, dan sedapat mungkin memperingatkan orang-orang di sekitar kita. Jika kita ikut lalai dalam arus kelalaian massal kehidupan ini, apakah kita menginginkan agar Allah mengingatkan kita lebih keras lagi, untuk kemudian kita bangun dari kelalaian itu? Sungguh peringatan dan sarana berdzikir itu begitu banyak, namun banyak di antara kita lebih nyaman dan tertarik dengan yang lainnya.
Abu Hurairah RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Ketahuilah bahwa dunia itu terkutuk (mal’uunatun, terlaknat) dan terkutuk apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah Ta’ala dan yang mendekati-Nya, juga ‘aaliman (orang yang berilmu) dan muta’alliman (orang yang belajar).” (HR. Tirmidzi).
Lalu bagaimana tentang harta dan motivasi mencarinya “Orang-orang yang banyak harta nanti menjadi orang-orang yang sedikit pahalanya di hari kiamat, kecuali orang yang menginfakkan hartanya begini, begini, dan begini (Rasulullah berisyarat ke arah kanan, kiri, dan belakang), dan mereka itu amat sedikit jumlahnya.” (HR. Bukhari dari Abu Dzar Al-Ghiffari).
Dewasa ini kita memang perlu dimotivasi menjadi orang-orang kaya tapi motivasi itu harus diawali dengan kekayaan jiwa. Dengan kekayaan jiwa, maka orang-orang kaya tak akan betah menyimpan hartanya dalam waktu yang lama, sebagaimana Rasulullah mencontohkan, “Jika aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, maka aku tak suka apabila lewat tiga hari emas itu masih berada di tempatku, kecuali yang kusimpan untuk melunasi hutang.”
Akhirnya, sedihkah kita jika tak mendapatkan kesenangan dunia atau kehilangan sesuatu dari dunia ini? Atau senangkah kita mendapatkan sesuatu dari dunia ini? Semua itu perkara hati yang rumit keadaannya. Tentang hal ini, Malik bin Dinar berkata, “Sesuai kadar kesedihanmu kepada dunia, sebesar itu pula perhatian akan akhirat keluar dari hatimu. Dan sesuai kadar kesedihanmu kepada akhirat, sebesar itu pula kesedihan dunia keluar dari hatimu.”
Prio Sudiyatmoko
“Kalau begitu, sukakah kalian jika ini jadi milik kalian saja?” lanjut Rasulullah – mungkin maksudnya gratis. “Demi Allah, kalaupun hidup, ia cacat, kupingnya kecil. Maka bagaimana mungkin kami menginginkannya sedangkan ia sudah menjadi bangkai?” tandas mereka. Maka Rasulullah pun memungkasi dialog singkat itu dengan pernyataan tajam, “Maka demi Allah, sungguh dunia lebih hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.”
Hari ini kita membutuhkan sosok-sosok da’i yang berani terjun ke kancah kehidupan di semua sektornya. Membaur dengan masyarakat yang tengah diliputi kelalaian, memberi pelajaran kepada mereka dengan apa pun yang ada di tengah-tengah mereka, dan pada saat yang sama memperingatkan mereka bahwa dunia ini bukan tempat tinggal yang sesungguhnya. Kancah kehidupan itu mungkin pasar, pusat-pusat perbelanjaan, pabrik-pabrik, kampus dan sekolah, perkantoran, ruang rapat direksi, pemerintahan, gedung parlemen, jalan raya, alun-alun kota, hingga jalan-jalan perumahan dan perkampungan.
Memang sulit menemukan sosok yang mampu dengan lincah bergerak ke semua kancah itu. Namun setidaknya kita, dengan keterbatasannya masing-masing, menjadi pengingat bagi diri sendiri, terus memperbaiki diri, dan sedapat mungkin memperingatkan orang-orang di sekitar kita. Jika kita ikut lalai dalam arus kelalaian massal kehidupan ini, apakah kita menginginkan agar Allah mengingatkan kita lebih keras lagi, untuk kemudian kita bangun dari kelalaian itu? Sungguh peringatan dan sarana berdzikir itu begitu banyak, namun banyak di antara kita lebih nyaman dan tertarik dengan yang lainnya.
Abu Hurairah RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Ketahuilah bahwa dunia itu terkutuk (mal’uunatun, terlaknat) dan terkutuk apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah Ta’ala dan yang mendekati-Nya, juga ‘aaliman (orang yang berilmu) dan muta’alliman (orang yang belajar).” (HR. Tirmidzi).
Lalu bagaimana tentang harta dan motivasi mencarinya “Orang-orang yang banyak harta nanti menjadi orang-orang yang sedikit pahalanya di hari kiamat, kecuali orang yang menginfakkan hartanya begini, begini, dan begini (Rasulullah berisyarat ke arah kanan, kiri, dan belakang), dan mereka itu amat sedikit jumlahnya.” (HR. Bukhari dari Abu Dzar Al-Ghiffari).
Dewasa ini kita memang perlu dimotivasi menjadi orang-orang kaya tapi motivasi itu harus diawali dengan kekayaan jiwa. Dengan kekayaan jiwa, maka orang-orang kaya tak akan betah menyimpan hartanya dalam waktu yang lama, sebagaimana Rasulullah mencontohkan, “Jika aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, maka aku tak suka apabila lewat tiga hari emas itu masih berada di tempatku, kecuali yang kusimpan untuk melunasi hutang.”
Akhirnya, sedihkah kita jika tak mendapatkan kesenangan dunia atau kehilangan sesuatu dari dunia ini? Atau senangkah kita mendapatkan sesuatu dari dunia ini? Semua itu perkara hati yang rumit keadaannya. Tentang hal ini, Malik bin Dinar berkata, “Sesuai kadar kesedihanmu kepada dunia, sebesar itu pula perhatian akan akhirat keluar dari hatimu. Dan sesuai kadar kesedihanmu kepada akhirat, sebesar itu pula kesedihan dunia keluar dari hatimu.”
Prio Sudiyatmoko
0 comments:
Post a Comment