Foto by Aria Achmad |
Purwokerto - Ada ribuan titik kristal tak terbendung
mengalir, menyaksikan tubuh-tubuh lemah
tertimbun lumpur. Ada pula yang harus menahan isak tangis, mendapati orang-orang terdekatnya harus tertimbun
material runtuhan bangunan. Atau mungkin
ada yang hanyut bersama derasnya air yang mengalir. Juga yang terkujur kaku dengan warna gelap
karena kobaran si jago merah. Ya, saat alam tiba-tiba haus menasihati
penghuninya dengan cukup keras melalui gempa yang menggetar. Saat alam harus
mengingatkan seluruh penghuninya utuk
kembali mengingati-Nya melalui luapan air bah yang tumpah. Saat alam menyapa
penghuninya dengan angin kencang maha dahsyat, dengan awal tebal yang tak bisa
dilalui. Dan saat-saat lainnya yang terjadi justru harus memisahkan diri dari
yang tercinta. Adalah tinggal duka lara yang menyapa. Tinggal isak tangis yang
tak tertahankan. Pedih perih secara hati terasa kian dalam. Bahkan tak jarang
terhimpit rasa putus asa atas kepergian orang-orang terdekatnya. Apakah
mendapati hal itu lantas hanya mematungkan diri. Apakah cukup hanya beujar “Aku
prihatin atas bencana ini.” Dan untaian kalimat lain untuk penentram ?
Rasa-rasanya siapa saja yang sedang dilanda duka,
tak hanya butuh ujaran. Sungguh kehilangan adalah rasa yang perlu proses untuk
menerimanya. Terlebih lagi terpisah secara jiwa. Allah telah membekali kita
rasa dan akal yang tidak Allah bekalkan kepada makhluk lain. Setidaknya ini
menjadi bekal bahwa kita memang beda. Saat mendapati sesama dilanda duka
semestinya jiwa sosial kita tergerak untuk membersamainya. Disaat negeri ini
penduduknya tercobak-cabik oleh sikap dan sifat keserakahan, sifat tak peduli
mulai menjalari. Disaat sebagian penduduk negeri ini muncul peduli hanya pada
saat tertentu saja, seperti menjelang pesta demokrasi, yang lebih di dominasi
oleh modus. Sepertinya sikap peduli terhadap sesama perlu kembali di asah lagi.
Penting bagi kita untuk punya kepedulian yang akan memberi arti.
Maka apa saja yang bisa diperbuat agar peduli? Sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan.
Kita bisa memulainya dengan menempatkan diri kita sebagai orang yang tengah
mengalami kedukaan itu. Kita membayangkan betapa pilunya seumpama kita yang
mendapati, harus kehilangan orang tua,
istri, suami, anak-anak. Bila kemudian
kita merasa seakan-akan kitalah yang
terkena bencana, maka rasa empati biasanya akan ada. Lalu hati akan tergerak
untuk membantunya.
Hal lain yang mampu mngasah kepedulian kita adalah
mencoba memahami. Ya, memaahami dan menyadari bahwa roda kehidupan berputar.
Bisa jadi yang saat ini tengah dialami seseorang yang menyebabkan luka suatu
saat nanti justru menimpa kita. Bila benar, alangkah bahagianya bila ada yang
membantu dan menyemangati. Mengingatkan bahwa setiap kejadian adalah tidak lain
dan tidak bukan karena kehendak Illahi semata. Terhadapnya tak perlu berlarut
dalam duka.
Kepedulian dan kepekaan terhadap luka hati dan
penderitaan orang lain adalah tentang hadist nabi yang kurang lebih maknanya
seperti ini. “Ada hal yang pahalanya terus mengalir, bahkan hingga pelaku telah
menemui Allah. Hal itu adalah anak-anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat serta
sedekah.” Bukankah bantuan kita dari bentuk kepedulian kita terhadap
penderitaan orang lain bisa berupa sedekah. Apapun bentuknya. Tak melulu harus
berupa materi. Ada tenaga, waktu, pikran dan yang lainnya yang bisa kita
sumbangsihkan sebagai bentuk kepedulian. Sungguh amalan ini akan menuai pahala
yang tiada henti. Masihkah kita tidak tergerak dengan janji Allah itu?
0 comments:
Post a Comment